Mitos-mitos Seputar Montessori

Lega rasanya telah menjatuhkan pilihan, gara-gara sesungguhnya pusing banget disaat mesti pilih sekolah basic untuk anak. Sekolah yang pada akhirnya kami pilih adalah sekolah yang menerapkan pendidikan Montessori otentik berlandaskan Islamic values. Sekolah ini sesungguhnya bukan The perfect choice yang tanpa kekurangan sama sekali. But when the time came for us to choose, satu perihal yang prioritasnya melampaui faktor-faktor lain, yaitu metode pendidikan yang kami ingin untuk anak kami. Kenapa Montessori sebegitu memikat bagi aku pribadi? Jawabannya, gara-gara pendidikan berikut mencukupi persyaratan pendidikan yang aku inginkan.

Dari yang telah aku baca dan alami sendiri, pendidikan Montessori benar-benar sesuai bersama dengan perkembangan (otak) anak, menopang multiple intelligence dan active learning, melatih kemandirian anak (dalam berpikir dan berperilaku), dan terhitung membentuk fondasi bagi anak untuk menjadi lifelong learner. Agar lebih afdol, Mommies dapat memperhatikan seperti apa Montessori dan manfaatnya bagi perkembangan anak di artikel “Kenapa Montessori?” ini.

Namun ternyata banyak stigma yang beredar seputar Montessori, apalagi di kalangan orangtua yang telah menyekolahkan anaknya di PG dan TK Montessori. Salah satu yang kerap aku dengar adalah pengakuan seperti ini, “Montessori rasanya benar-benar santai/kurang akademis terkecuali buat SD.”

Saya jelas banget apa maksudnya. sekolah Montessori (anak aku setidaknya) sesungguhnya tidak berikan nilai, rewards, hukuman, apalagi tidak terhitung pekerjaan rumah. Sementara di mata (banyak) orangtua – terhitung aku sendiri tadinya – era bersekolah di SD diakui waktunya untuk “menggempur” anak bersama dengan materi akademis, dan juga melatih disiplin dan endurance dalam belajar.Basis anggapan Montessori sangatlah berbeda.

Dua karakteristik utama Montessori terdapat pada pemahaman bahwa tiap-tiap anak memiliki absorbent mind dan sensitive period. Anak berpikiran apa-apa yang diserapnya sebagai perihal yang dibutuhkan bagi mereka untuk survive di dunia, dan mereka mengadaptasinya sebagai nilai-nilai. Oleh gara-gara itu, dalam Montessori, lingkungan yang penuh welas asih, positif dan berlandaskan rasa hormat dipandang benar-benar penting.

Anak terhitung dipandang memiliki era peka, yaitu era untuk mempelajari suatu keterampilan bersama dengan cepat dan hampir seperti tanpa usaha, di mana kondisi berikut berwujud sementara. Dengan tersedia atau tidaknya stimulasi, tiap-tiap anak memiliki kapasitas untuk mengajar dirinya sendiri.

Setelah dua tahun bersekolah di Montessori, pengaruh pendidikan ini di diri anak aku benar-benar terlihat. Contohnya sementara anak aku ikuti ‘tes’/observasi di sekolah kandidat SD yang lain. sekolah ini reputasinya benar-benar oke, kurikulumnya didominasi nuansa akademik – yang keliru satunya muncul berasal dari nilai UN lulusan SD-nya yang terbilang tinggi di DKI Jakarta.

Di sesi pemaparan hasil observasi, aku berkesempatan mendengar segera tanggapan Kepsek sekolah tersebut, begini yang aku dengar: “Wah, anak Montessori nggak usah ditanya ulang deh, kekuatan calistungnya di atas rata-rata. (Mereka) terhitung berdiri sendiri dan dewasa banget dibandingkan yang lain.”

Meskipun hidung aku kembang-kempis mendengarnya, tetapi aku prefer menilai anak secara lebih luas. Scope penilaian tiap-tiap kekuatan anak yang diterapkan di pendidikan Montessori tidaklah sesempit yang aku kira. Anak bukan hanya dibentuk untuk lulus berasal dari TK bersama dengan kekuatan akademik yang kuat; tetapi yang lebih penting, bersama dengan ATTITUDE bahwa belajar itu menyenangkan, seru, dan tanpa batas.

Jika berbicara segi penguat secara scientific, ternyata tersedia belajar yang diterbitkan di jurnal “Science” pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa murid-murid Montessori condong menyatakan skill sosial dan kreativitas yang lebih advanced, dan juga dapat perform lebih baik dalam ujian baca dan Matematika dibandingkan anak-anak lain di program tradisional. Dengan begitu, anggapan kalo Montessori itu benar-benar enjoy atau “nggak nampol” buat anak sejatinya dapat disebut mitos.. ya, ndak?

Bergerak berasal dari situ, aku pun merasa lebih kepo pada asumsi-asumsi semacam ini. Kebetulan, suatu hari aku mendapatkan artikel berjudul “Montessori Myths Busted,” yang sungguh benar-benar berfungsi untuk mematahkan banyak anggapan yang tidak akurat seputar pendidikan Montessori.

Apa saja mitos-mitosnya?

Mitos #1: Montessori hanya sesuai untuk anak-anak yang “berbakat”

Apa iya anak mesti memiliki bakat untuk dapat menuai kegunaan berasal dari pendidikan Montessori? Montessori bertujuan bagi semua anak, tanpa melihat level kemampuannya. Tapi, anggapan ini muncul kemungkinan gara-gara di mata orang awam, murid-murid Montessori kerap muncul lebih advanced dibandingkan anak-anak lain seusianya,.

Padahal yang sesungguhnya terjadi, pendidikan Montessori gunakan impuls alami di diri tiap-tiap anak, yaitu impuls kuat untuk belajar, dan berikan stimulasi sesuai kecerdasan majemuk anak. Ketertarikan anaklah yang menjadi pedoman bagi guru untuk sesuaikan pembelajaran yang dapat menstimulasi anak.

Mitos #2: Ruang kelas Montessori itu kacau alias chaotic

Kalau kami benar-benar menyimak seperti apa aktivitas dalam ruang kelas Montessori sehari-seharinya, let’s say sepanjang dua jam saja, maka apa yang bakal diliat sesungguhnya bakal jauh berasal dari ribut dan kisruh.

Sistem pembelajaran dalam Montessori mengizikan anak laksanakan banyak perihal sendiri. Kemerdekaan pembelajaran benar-benar ditekankan, dan sebaliknya intervensi berasal dari orang dewasa dalam lingkungan belajar benar-benar tidak dianjurkan. Anak-anak didorong untuk melatih self-discipline-nya sendiri, dan ini berlaku terhitung apalagi untuk anak-anak yang masih benar-benar kecil.

Anak-anak bebas pilih aktivitas mana yang menarik bagi mereka. Mereka ditinggalkan sendiri untuk bereksperimen dan berlatih bersama dengan material tertentu. Inilah yang sesungguhnya menopang anak mengajarkan diri sendiri berkonsentrasi, membangun skill koordinasi, dan terhitung kemandirian dalam suatu kedisiplinan yang tidak butuh pengawasan orang dewasa.

Mitos #3: Montessori tidak memfasilitasi perkembangan sosial

Keseluruhan etos Montessori adalah berkenaan rasa hormat. Ini ditunjukkan keliru satunya oleh guru kepada tiap-tiap anak. Lewat hubungan antar anak dan terhitung bersama dengan orang dewasa, secara bertahap anak menjadi lebih acuhkan dan sensitif pada sekelilingnya. Mereka belajar untuk saling menghargai. Rentang umur 2-3 tahun dalam kelas memicu pembelajaran terjadi berasal dari anak-anak yang lebih besar ke yang lebih kecil, dan ini terjadi secara alamiah.

Namun Montessori terhitung menghormati anak dan kebutuhannya bakal privasi. Selain mencukupi kebutuhan anak untuk beraktivitas sendiri(an), area dan aktivitas dalam kelas terhitung memungkinkan anak-anak saling berinteraksi. Anak-anak yang lebih besar kerap menjadi guru bagi yang lebih kecil, dan juga anak dapat bekerja sama ataupun sendiri-sendiri sesuai pilihan mereka.

Mitos #4: Montessori tidak ketat secara akademis

Banyak orangtua risau menyekolahkan anak di pendidikan Montessori gara-gara berpikir metode ini tidak bakal buat persiapan anak-anak mereka untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sekali lagi, ini dapat dibilang benar-benar tidak benar.

Sistem Montessori jelas bahwa anak-anak yang masih benar-benar kecil dapat jelas konsep-konsep yang rumit terkecuali mereka dikenalkan secara konkret. Sebagai contoh, terkecuali mereka telah belajar berkenaan tabel perkalian gunakan material ‘100’s Board’ maka mereka bakal memiliki pemahaman yang jauh lebih besar berkenaan perkalian disaat pembelajaran berkembang menjadi lambang abstrak.

Menurut neuroscientis Dr. Steven Hughes, “Jika tujuan pendidikan seharusnya adalah menopang otak tiap-tiap anak meraih potensi tertinggi perkembangan … pendidikan Montessori menyajikan pendekatan pendidikan yang secara radikal berlainan – dan terhitung efisien – yang kemungkinan menjadi metode paling baik untuk memastikan perkembangan kognitif, sosial, dan emosional yang optimal berasal dari tiap-tiap anak.”

Mitos #5: Anak-anak yang lebih besar bakal mengintimidasi yang lebih kecil.

Anak-anak Montessori disusun dalam kelas bersama dengan rentang umur 2 hingga 3 tahun. Banyak orangtua risau anak-anak yang lebih tua bakal mengintimidasi anak-anak yang lebih kecil.

Padahal kondisi mixed-age (campur-usia) ini beri tambahan kesempatan bagi siswa yang lebih berpengalaman untuk menjadi role type dan menopang anak lain. Dengan adanya rentang umur di kelas, kompetisi diminimalisir sebagai motivator.

Para siswa dapat bersama dengan nyaman share pengetahuan bersama dengan satu sama lain. Mereka belajar untuk bekerja sebagai tim dan menghormati kontribusi masing-masing bagian dalam kondisi apapun. Kemampuan ini dapat menjadi “alat” bagi anak dalam memecahkan konflik, yang bakal membangun toleransi dan buat persiapan anak-anak menjadi orang dewasa yang penuh kasih.

 

Mitos #6: Program Montessori tidak bakal dapat mengimbangi kurikulum di sekolah non-Montessori

Mitos ini kerap diangkat dan tentu saja tidak terjadi. Faktanya anak-anak Montessori seringkali maju jauh melampaui tingkat yang dicapai di sekolah umum. Ini telah dibuktikan oleh hasilnya. Sering tersedia komentar bahwa anak-anak Montessori benar-benar cemerlang dan lebih unggul secara akademis disaat dimasukkan ke sekolah umum. Ini terhitung terbukti sementara mereka berada di jenjang SMA.

Mitos #7: Montessori tidak berikan kesempatan untuk bermain bebas atau pengembangan kreativitas

Ada banyak sementara untuk anak bermain bebas di sementara istirahat, terhitung banyak aktivitas tambahan yang di tawarkan seperti seni, musik, drama, bahasa tambahan dan pendidikan jasmani. Kelas-kelas ini diakui benar-benar penting untuk pengembangan anak secara keseluruhan. Kreativitas terhitung dipelihara dan didorong dalam lingkungan kelas bersama dengan menopang rasa ingin jelas dan minat anak. Kita kemungkinan bakal kaget terkecuali jelas berapa banyak inovator dalam teknologi tinggi dan seni yang memiliki landasan pendidikan di sekolah Montessori.

Ternyata sesungguhnya banyak mitos seputar pendidikan Montessori. Dari paparan ini dapat aku simpulkan, terkecuali mitos-mitos ini timbul terkecuali kami hanya melihat Montessori secara selintas, padahal dalam kenyataannya, pendidikan ini benar-benar memperkaya perkembangan diri anak.

Jadi, apakah Mommies berminat menyekolahkan anak di Montessori hingga ke tingkat lanjut seperti saya? Atau ingin share kesan-kesan yang didapatkan sepanjang menyekolahkan anak di sekolah Montessori? Silakan membagi pendapat Anda di kolom komentar.